Selasa, 09 November 2010

Untaian Kisah Para Perangkai Kisah

Review Oleh Emiralda Noviarti


Akhirnyaa.. saya menyerah berulang-ulang membaca enam draft naskah dari bb - iya, sumpaahh, pusing, apalagi karena harus scroll page by page untuk review, akhirnya saya memutuskan untuk mencetak saja seluruh draft naskah itu. Memang masih tertinggal satu naskah lagi milik @SiGadisPemimpi, tapi hutang menulis ini jelas harus segera dicicil :)

So here I am on my way home, with a bundle of almost-one-hundred-pages of drafts (kebetulan saya cetak 4 pages in 1, bolak-balik). This is gonna be a real challenge, karena saya yakin menulis review untuk teman-teman baru ini akan jauh lebih sulit dibanding menulis review untuk buku Nindee, Nenden dan Wulan (well, Wulan kekecualian, karena tulisan di buku itu bukan tulisan Wulan, sehingga agak sulit untuk saya menuliskan review - hasilnya lebih mirip testimonial Friendster, haha..)

Hmm, mulai dari mana, yaa..

Sebelum mulai menulis review, saya harus bilang terus terang, bahwa saya sungguh 'iri' pada keenam teman-teman baru saya ini. Mereka piawai membebaskan imajinasi, lincah merangkai kata dan kalimat menjadi kisah. Saya tidak habis pikir, keenamnya jauh lebih muda daripada saya (jauuhh, bayangkan, beda umurnya bisa dua digit tahun, hihihi..) tapi kemahiran berbahasa sekaligus jam terbang menulis mereka luar biasa. Saya langsung merasa minder dan tak layak ikut-ikutan mengaku sebagai penulis :) Apalagi mengingat bahwa saya sama sekali nggak bisa menulis fiksi - daya imajinasi saya sungguh terbatas, mungkin karena sudah terlalu lama di'paksa' berpikir fact-based, structured, dan solution oriented (haduhh, apa sih ini, hihihi..)

Zula dan Vira rajin menulis di Twitter untuk @puisikita, @fiksimini dan @cerfet (cerita estafet) - tantangan yang sampai kini masih belum kesampaian saya jalani - masih nggak pede :) Tenni, Dyta, Zula, Vira dan Hilda masing-masing pernah (atau masih) menjadi reporter atau penulis, baik untuk media cetak ataupun e-magazine, dan rajin berkontribusi untuk komunitas penulis. Baru-baru ini, Tenni, Hilda dan Dyta masuk list kontestan penulisan cerita untuk Gagas Media. Keenamnya rajin menulis, baik di blog ataupun di facebook.

Hanya Tenni yang memang sarjana komunikasi - background yang cukup dekat dengan tulis-menulis. Sisanya bervariasi, mulai dari mahasiswi ekonomi, calon dokter gigi, bahkan calon sarjana kependidikan dan fisika murni (glek - Ichaa, saya juga dulu lumayan suka fisika, tapi tak sanggup rasanya membayangkan belajar khusus fisika empat tahun, hihihi..)

Untunglah waktu saya nekat ikutan 99 writers nulisbuku.com, saya nggak tahu kalau sebagian besar yang ikutan adalah penulis 'serius' dengan jam terbang yang lumayan, sehingga saya nggak sampai mengurungkan niat nekat saya untuk ikutan. Untung juga saya punya tiga partner-in-crime yang menemani berkejar-kejaran dengan deadline - sehingga akhirnya saya kesampaian juga punya buku dengan nama saya di covernya - selain Tugas Akhir S1 :))

Oke, pengantarnya cukup. Mari kita mulai cerita tentang bukunya. Mulai dengan dua buku pertama - 'Warna Dari Pelangi' (Karina Sacharissa - Icha) dan 'Relationship' (Adyta Purbaya - Dyta). Keduanya novel (dengan panjang lebih dari 100 halaman untuk sebuah cerita, yang saya tak terbayangkan bagaimana cara menuliskannya) bergenre teenlit, biasalah, nggak jauh-jauh dari soal cinta :) Saya memang nggak banyak baca buku teenlit ketika remaja. Waktu itu bacaan saya rasanya kelewat serius, lalu saya sepertinya malah mengalami penurunan kualitas bacaan sejalan dengan bertambahnya umur hingga sekarang ini, hihihi..




Saya menerima draft buku Icha baru beberapa hari yang lalu. Satu jam berikutnya, saya selesai membaca. Dan saya menikmati - iyaa, saya tau, nggak pantes kali ya, seumur saya kok menikmati membaca teenlit, hihihi..

Yang unik dari karya Icha, adalah bagaimana delapan chapter, masing-masing dibuka dengan warna-warni pelangi (oh, ok.. diawali dengan abu-abu, warna langit sebelum turun hujan, lalu satu persatu warna pelangi mulai dari merah, jingga, hingga ungu). Setiap chapter, Icha memulai dengan sebuah warna, lalu arti warna tersebut, baru mulai berkisah.

Saya menikmati bagaimana warna abu-abu di chapter 1 mengawali cerita tentang Azhel, si cowok ganteng yang senantiasa berwajah abu-abu bak langit mendung. Lalu warna merah di chapter 2 yang bercerita tentang awal kedekatan Azhel dan Pelangi - si gadis ceria penuh warna selayaknya pelangi. Lalu warna jingga, kuning, hijau, biru, nila, hingga ungu - yang menutup cerita dengan sad-ending (catatan : jangan khawatir, masih ada epilognya, kok :))

Kisahnya mengalir ringan, dengan setting khas anak SMA. Sekolah, tempat les, rumah teman, mall - dengan dialog sederhana dan mudah dicerna. Mungkin juga karena saya membaca draft buku Icha di hari terakhir bulan Oktober, ketika saya baru saja menyelesaikan keruwetan month-end urusan pekerjaan, sehingga membaca draft buku Icha rasanya begitu menghibur :)

'Hujan pernah turun kemarin. Matahari bersinar hari ini, dan pelangi kembali menampakkan warnanya. Bukankah pelangi muncul karena biasan cahaya matahari saat hujan turun ?'

Sementara, buku Dyta - Relationship, berkisah tentang kerumitan status sebuah hubungan - versi remaja, tentunya.

Alkisah, Rama dan Tisya bersahabat begitu dekat, karena serangkaian kebetulan. Teman sejak kecil, kedekatan keluarga, sekelas, satu kampus dan seterusnya. Sedemikian dekat bahkan hingga mereka sendiri tidak bisa mendefinisikan hubungan mereka, selain 'cuma teman'. Yang mereka tahu hanyalah mereka merasa begitu nyaman bersama-sama.

Niscaya mereka akan tetap seperti itu adanya, kalau saja tidak ada Nindi, yang kemudian menyadarkan Tisya bahwa ternyata dia begitu takut kehilangan Rama. Demikian pula sebaliknya.

Kerumitan terjadi karena apa-apa yang tersurat dan tersirat ternyata bisa jauh berbeda. Yang dinyatakan - di'publish' di fesbuk, diketahui teman-teman sekampus bahkan keluarga, bisa jadi berbeda dengan apa yang dirasa dalam hati.

Pada akhirnya, hati memang selalu menyatakan yang sebenarnya. Seringkali, perasaan memang harus diuji. We often take things, including people, for granted - often we don't realize what we've got till it's gone. That I truly believe. Karena itu jugalah saya selalu percaya, ketika harus memilih, pergilah kemana hati membawamu :) Seperti ending di buku ini. Iya, kan Dyt ? *ke #tetangga pun boleh, lah.. :)

Saya tersenyum membaca sebuah kutipan di buku itu, lirik sebuah lagu tentang ketidakwarasan. Jujur, saya nggak tahu lagunya seperti apa. Saya tersenyum bukan karena lagunya, tetapi karena saya teringat bahwa saya punya istilah sendiri yang mirip dan biasa saya gunakan - yaitu kesakitjiwaan :)

'We all need that one person that can be true to us. But I left him when I found him - and now I wish I stay. Cause I'm lonely, I'm tired - and I am missing you..'

Buku berikutnya, masih dengan genre yang mirip 'Cerita Tentang Cinta' (Hilda Nurina). Mungkin bukan teenlit, tapi yang jelas sama 'manis' dan 'ringan' dengan kedua buku sebelumnya. Bedanya, karya Hilda ini adalah kumpulan cerpen - yang sebagian pernah dituliskan di catatan Facebook dan menuai begitu banyak komentar positif, termasuk request untuk dibukukan. And it comes true - you go, girl ! :)

Di setiap awal cerpennya, Hilda mengutip beberapa baris lirik lagu atau pepatah, baru mulai bercerita. Saya menikmati cerpen-cerpennya.

Favorit saya, 'Sepenggal Kisah Lama'.
Kenapa ? Mm, selain cara bertutur yang mengalir dan empati akan kisahnya :) - saya teringat sesuatu tentang lagu 'Eres Todo En Mi'.

Dulu waktu saya sedang di Meksiko, ada seorang teman penutur asli bahasa Spanyol yang menerjemahkan teks lagu itu ke dalam bahasa Inggris untuk kami. Dia nggak mengartikan kata demi kata, tapi mendongeng, berusaha bercerita pada kami dalam bahasa Inggris and his story was indeed so beautiful ! Sayang nggak saya rekam ceritanya :( Teman kami itu kebetulan jago bercerita (termasuk mendramatisir cerita - khas Latino, hehe..)

Eres todo en mi
Por siempre y para siempre desde que te vi
Nunca mas tendré temor
Pues con tu amor
Volvi a sentir y a renacer

Saya kutip beberapa bagian dari cerpennya Hilda, ya ?

'Ini masih kamu yang dulu. Yang selalu ada untuk saya. Yang selalu mampu membuat saya tertawa di saat tersedih sekalipun. Yang walaupun sudah mengantuk tapi tetap mau menemani saya sepanjang malam. Yang terlihat misterius tapi mau memercayakan dan berbagi ceritamu pada saya..' dan seterusnya..

'Aku cuma pengen kamu tahu bahwa rasa itu ada. Kamu nggak salah. Selama ini memang ada.'

'Seandainya waktu bisa berhenti dan membeku. Aku ingin begini saja. Selamanya. Sayangnya detik tak dapat menunggu. Waktu harus terus berjalan. Sepersekian detik kita masih saling berpandangan. Kemudian, dengan senyum itu, kamu pun berlalu. Saya melihat punggungmu berlalu sambil tersenyum, meski dalam hati menangis teriris.'

Ternyata memang sepertinya tak mudah jujur pada diri sendiri, ya ? :)

Saya juga suka 'Skenario Part 1 dan 2' - kisah tuan puteri.. never say never, eh ? :) Saya menikmati kesederhanaan dalam 'Segelas Air Putih', 'Itu Saja Sudah Cukup', dan.. loh kok jadi semuanya ? Hehe..

Yang saya suka dari cara berceritamu, Hilda.. adalah kamu menggunakan kalimat-kalimat pendek, kata-kata sederhana namun bermakna. Lagi-lagi saya cuma bisa 'iri', karena saya sungguh tak bisa menulis fiksi, apalagi yang seperti ini.

Ketiga buku berikutnya seluruhnya adalah kumpulan cerpen. 'Aku Berkicau' (Nuzula Fildzah), 'LUKA' (Tenni Purwanti) dan 'Lajang Jalang' (Vira Cla).

Ketiganya setingkat lebih serius dan 'berat' dari buku-buku sebelumnya. Tebakan saya, ketiganya punya jam terbang lumayan tinggi dan kecintaan akan sastra 'serius'.

Zula dan Vira langganan tetap @cerfet - tantangan luar biasa, dimana sejumlah penulis secara estafet membuat sebuah cerita. Saya bilang ini tantangan luar biasa, karena ketika gilirannya tiba ke mereka, bisa jadi alur ceritanya sudah jauh menyimpang dari awalnya. Dalam hitungan menit, seorang penulis harus memikirkan lanjutan cerita lalu menuliskannya dalam tiga twit. Benar-benar spontan dan tak bisa diantisipasi. Duh, terbayang sanggup melakukannyapun saya tidak..

Sementara Tenni, halaman awal bukunya berisi pengantar dari Rosiana Silalahi tentang kumpulan cerpennya. Hmm, baiklaahh, saya pikir.. these really are serious stuff :)

Saya menepekuri (is there such a word in Bahasa Indonesia ? 'menepekuri' ?) tiga draft dalam waktu lumayan lama, berusaha berpikir, apa yang hendak saya tuliskan. Berusaha memahami apa yang tersirat, bukan yang tersurat, hehe..

Sebenarnya sih, sangat sulitpun tidak. Karena jujur, kata-kata yang digunakan Nindee di buku 'Aldebaran' bisa jadi lebih 'berat'. Tapi saya dan Nindee sudah berteman cukup lama, sehingga cukup mudah connected, dan sebelumnya saya sudah pernah membaca sebagian besar tulisan itu - dan hari itu saat membaca Aldebaran, mood saya sedang mengharu-biru sebiru covernya, sehingga dengan mudah saya menuliskan review untuk Nindee.

Tapi hari ini, sungguh saya harus berpikir keras untuk menuliskan review untuk Zula, Tenni dan Vira.

Kisah-kisah yang diceritakan Zula dalam 'Aku Berkicau' dituliskan dengan bahasa puisi. Bahkan di setiap cerpen, Zula memang memulai dengan sebait puisi. Lalu terkadang menyelipkan penggalan puisi, dan menggunakan begitu banyak metafor. Saya membaca berulangkali, sambil berusaha mereka makna.

Yang saya kagumi adalah variasi yang luar biasa, mulai dari pemilihan tema setiap kisah - mulai kisah cinta, tema sosial hingga sejarah, sudut pandang bercerita - aku, ia, bahkan dari sudut pandang benda tak bernyawa, pemilihan cara bercerita - ada yang sangat mudah dicerna seperti 'Life Must Go On' sementara ada pula yang butuh usaha ekstra untuk dipahami seperti 'Bintang Malam', hingga variasi ending tiap cerita.

Saya suka 'Bintang Malam' - walaupun saya harus beberapa kali membaca untuk bisa mengerti utuh ceritanya.

'Tuhan, aku sendiri. Hilang angan, hilang impian, aku berduka. Tuhan, lelah langit hati, menitihkan sedih. Tuhan, bisakah kau hadirkan ia malam ini ? Satu kali saja, aku merindunya.'
*dan jangan salah sangka, Zula bukanlah sedang bercerita tentang seseorang yang merindu kekasih hatinya :)

Kumpulan cerpen Tenni, 'LUKA'- sama halnya dengan Zula, adalah bukti nyata jam terbang menulis yang tinggi. Beragamnya tema, jalan cerita, hingga pemilihan ending cerita, bagi saya sungguh mengagumkan. Cerpen-cerpen Tenni terasa begitu 'rapi', dengan cara bertutur yang luwes.

Saya bingung hendak menuliskan apa - yang kemudian membuat review ini mandeg berhari-hari, salah satunya karena saya khawatir terpengaruh dengan pengantar yang dituliskan oleh seorang 'public figure'.

Well anyway, saya tergugah membaca 'Malaikat Jalanan'. Menurut saya, idenya tidak biasa. Bagaimana seorang anak jalanan, Angel - malaikat (yang mengubah namanya sendiri, dari Eneng) melakukan tindakan pidana, menculik anak-anak orang kaya, untuk sekadar memberi pelajaran pada mereka tentang mensyukuri hidup. Juga pada cerpen 'Luka', kisah seorang yang mengabdi di pedalaman Papua. Luka sang malaikat, dokter-slash-guru-slash-pelukis. Lagi-lagi ide dan ending yang tak biasa membuat saya terpesona.

But then again, saya kagum pada pemilihan tema hampir semua cerpen di buku ini. Tenni mahir mengolah beragam tema mulai dari persahabatan, cinta hingga sosial.

Yang ingin saya kutip dari buku ini ? Tiga baris pertama dari halaman tiga. Rasanya ini bukanlah bagian dari cerpen manapun - dan saya tidak tahu apakah kutipan ini dimaksudkan Tenni sebagai retorikal atau ditujukan untuk seseorang :)

'Luka itu ada bukan karena Cinta. Aku hanya salah menjatuhkan hati. Salah melabuhkan rindu yang menggebu.'

Sementara Vira sukses mengemas kumpulan cerpennya - 'Lajang Jalang' dengan 'sastra provokatif' (ini istilah saya sendiri, Vir :)) Nggak heran trus kalau ada yang menuduhmu macam-macam, Vir.. justru itu artinya kamu sukses :)

Lewat kumpulan cerpennya, Vira berkisah tentang cinta (atau kadang-kadang bukan cinta, tapi cuma nafsu belaka ?) melalui angle yang tidak biasa. Yang khas dari Vira, dalam berbagai kesempatan, sudut pandang bercerita berpindah-pindah dengan cepat, tapi tetap mudah dibaca dan dimengerti. Juga penggunaan beberapa istilah Latin dan medis - mungkin karena penulisnya seorang calon dokter gigi (hihi, gak nyambung ya ? :))

Saya sempat harus beberapa kali mengulang membaca cerpen pertama 'Negeri Sastra oleh Cerpenis' - karena tak mudah saya pahami. Dan hmm, meskipun saya cukup umur (cukup banget, malah, haha..) saya masih saja sedikit jengah membaca sejumlah kata dalam cerpenmu - mungkin karena nggak biasa :)

'I'll never be the same if we ever meet again.
Ia akan kembali pada saya, walau harus bermusim-musim menunggu. Walau hati saya telah kering diperas rindu, rasa cinta saya tak pernah gugur. Ia akan kembali. Ketika ia kembali nanti, saya tak lagi perempuan yang sama seperti dulu, yang pasrah akan kepergiannya. Ketika ia kembali nanti, akan saya curahkan segala rasa yang tertahan. Ketika ia kembali nanti, saya takkan melepasnya pergi lagi.
If we ever meet again, I'll have much more to say.
If we ever meet again, I won't let you go away.'
(Cinta Semusim - dari kumpulan cerpen 'Lajang Jalang')

Tanpa bermaksud sombong atau apapun, saya memang lebih bisa menggunakan bahasa Inggris (kosakata sehari-hari, bukan sastra) apalagi untuk menulis formal. Mungkin karena bahasa Inggris adalah bahasa yang tak kenal formal atau informal - bahasa lisan dan tulisan adalah sama.

Sementara, walaupun saya bawel minta ampun, saya selalu kesulitan untuk menulis formal dalam bahasa Indonesia. Di kantor, kalau ada keharusan menulis email formal dalam bahasa Indonesia, niscaya saya akan minta tolong teman-teman saya.

Bahasa Indonesia saya versi tulisan memang berkualitas rendah (lebih banyak dituliskan dengan cara mengobrol tak formal) - baru akhir-akhir ini saja, saya mulai belajar menulis bahasa Indonesia dengan lebih baik.

Waktu saya SMA dan kuliah, memang ada masa dimana saya hanya membaca buku-buku berbahasa Inggris. Entah mengapa, saya juga tidak ingat. Akibatnya, saya tertinggal jauh dalam hal berkomunikasi tertulis dalam bahasa Indonesia. Saya alpa bahwa kosakata bahasa Indonesia ternyata begitu kaya dan mampu begitu indah mengalirkan rasa - hingga saya tersadar sekarang :)

Hmm, tulisan ini sudah sedemikian panjangnya sampai rasanya jari saya sudah kebas mengetik. Juga sampai bb mengeluarkan notifikasi 'field full' untuk ukuran email, sehingga saya harus membaginya menjadi dua draft email.

Walaupun masih mentah dan sepertinya masih harus diedit ulang sebelum masuk blog perangkai kisah, setidaknya saya sudah menunaikan janji mereview draft buku teman-teman baru saya yang tertunda sekian lama :)

Dan akhirnya.. draft buku favorit saya adalah.. ah, sudahlah. Tidak penting, hehe..

Well, girls.. What can I say - selain terima kasih untuk kesempatan membaca dan belajar dari karya-karya kalian, yang membuat saya semakin merasa perlu belajar menulis lagi - walau entah kapan saya akan bisa menulis fiksi - yang membuat saya tidak bisa ikut berkontribusi untuk #writers4indonesia project :(

Oh, ya.. karena saya sama sekali belum sempat bertegur sapa secara langsung dengan kalian - kecuali Dyta yang sempat berkenalan sangat singkat sekitar lima sepuluh menit, I really look forward to meeting you girls, soonest ! *biar kita gak cuma rame sahut-sahutan di twitter aja, hehe..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar