Senin, 15 November 2010

Yang Tersisa Dari Setahun Itu : Catatan Mengagumkan Dari Seseorang yang Mengaku Tak Bisa Menulis

 review oleh rosepr1ncess


Saya sering sekali membaca pengakuan mba Emi di twitter, bahwa ia tak bisa menulis, apalagi menulis Fiksi. Bahkan di dalam buku perdananya pun, mba Emi mengulang-ulang pernyataan yang menyatakan bahwa dirinya tak pandai menulis. Pada kenyataannya, buku pedananya “Yang Tersisa Dari Setahun Itu” menggoreskan kisah-kisah yang mengalir halus dan tertata rapi. Tak perlu berbicara jam terbang menulis disini, karena tulisan mba Emi sudah berkata dengan sendirinya, bahwa ia, sang penulis, bisa menulis, dengan gaya bertuturnya sendiri, tanpa butuh jam terbang tinggi sebagai seorang penulis.


Dalam dunia jurnalistik, tulisan mba Emi bisa dimasukkan dalam kategori Feature. Contoh Feature yang paling nyata dalam dunia jurnalistik televisi adalah program “Jejak Petualang”. Pihak stasiun televisi tersebut mungkin menang di video-video yang menyajikan pemandangan alam yang dijelajahi oleh host, tapi mba Emi bisa menang di penyusunan kata-kata. Bahkan tanpa foto pun, pembaca buku ini akan bisa membayangkan seperti apa kehidupan yang dijalani mba Emi di luar negeri.



Seperti misalnya ketika menggambarkan bagaimana mba Emi mengalami gegar budaya, dengan cara bertuturnya sendiri, mba Emi mampu menjelaskan detil-detil adaptasinya bersama orang-orang baru di tempat yang tentunya sangat baru dan asing.

“Yang paling saya pahami adalah mereka sangat menghargai kebebasan dan pilihan individu,”

Dari kata-kata itu saya tahu, mba Emi bukan orang yang cuek. Ia mempelajari kehidupan di sekitarnya, dari hal-hal yang paling kecil dan sederhana, hingga hal-hal tersebut yang kemudian membuat tulisannya  “bernyawa” . Mba Emi secara detil menuliskan kebiasaan-kebiasaan orang-orang asing dis ekitarnya, mulai dari makanan, minuman, dan segala hal “keterampilan domestic” yang dimiliki teman-temannya.  Orang yang tidak bisa menulis, tak akan bisa menulis sedetil ini, mba Emi ….jadi berhentilah menyebut diri tak bisa menulis karena tulisan mba Emi sudah menyanggahnya. Tulisan-tulisan mba Emi dalam buku sudah membuktikan bahwa mba Emi bisa menulis.


Bahkan dari pembagian chapter dalam buku ini pun sudah menunjukkan bahwa mba Emi tidak sembarang menulis.  Dimulai dengan pengantar “dari mimpi, segalanya berawal” ….lalu pembaca digiring ke bagian inti yaitu catatan perjalanan…..dan ditutup dengan bagian penutup “tak ada yang tak berakhir”


Dalam pengantar, mba Emi mulai bercerita tentang dirinya, keluarganya, dan asal muasal mengapa mimpi itu bisa hadir dan bagaimana akhirnya “big dream” tersebut bisa terwujud. Kemudian tulisan dilanjutkan dengan kisahnya-kisahnya tentang orang tuanya, terutama sosok sang ayah yang gemar menulis dan selalu “memaksa” puterinya untuk juga rajin menulis. Lalu bagaimana mulanya mba Emi mulai bekerja dan mendapat kepercayaan keliling dunia.


Banyak orang mungkin bisa punya kesempatan yang sama untuk keliling dunia seperti mba Emi,  tapi yang membuat mba Emi istimewa adalah bahwa ia, yang mengaku “tak bisa menulis” ternyata bisa menuliskan pengalamannya. Kalau orang lain hanya bisa pamer foto dan video, mba Emi bisa selangkah lebih maju yaitu mengabadikan dalam tulisan. Ternyata memang ada yang tersisa dari setahun itu, ya buku ini, buku catatan perjalanan ini. Membaca buku ini saya seperti sedang berada di hadapan mba Emi dan mendengarkan “coletehnya”tentang negeri orang dan segala hal ajaib yang menyertainya. Membaca buku ini, saya seperti bisa melihat bagaimana “bawelnya” seorang Emiralda Noviarti yang punya kecepatan berbicara di atas rata-rata.  Dan saya seperti seorang turis yang sedang menyimak tour guide  saya berbicara panjang lebar tentang kota-kota dan Negara yang kami kunjungi.


Mba Emi – yang lagi-lagi mengaku tak bisa menulis – bahkan sudah menyiapkan buku kedua yang akan melanjutkan “kebawelannya” dalam mengisahkan perjalanan hidupnya. Kenyataan ini semakin menguatkan pendapat saya, bahwa mba Emi sesungguhnya mahir menulis. Ia memiliki gaya bertuturnya sendiri, Termasuk saat menuliskan detil mengapa orang Indonesia sulit mempelajari bahasa Asing. Saya baru sadar kalau bahasa Indonesia itu terlalu mudah, sehingga saya cukup kesulitan mempelajari bahasa Asing. Saya sudah terbiasa dengan yang mudah-mudah, sehingga agak malas memulai sesuatu yang rumit.  Mba Emi menjelaskan detil bagaimana ia kemudian bisa mewujudkan mimpinya, yaitu dari mempelajari Bahasa Perancis sampai apply pekerjaan di perusahaan multinasional. Saya, yang selalu merawat cita-cita saya menjadi presenter berita justru sangat malas belajar bahasa Inggris.  Maka saya pasrah saja kalau hanya bisa berkarir di stasiun televisi Indonesia. Terima kasih karena telah memberi pelajaran berharga bagi saya, bahwa berani bermimpi saja tidak cukup. Kita juga harus berani mewujudkannya, seperti yang dilakukan mba Emi, yang kemudian ia bagi dalam bukunya.


Baiklah, sebelum review ini jadi sebuiah buku,alangkah baiknya saya akhiri tulisan ini dengan menganjurkan pembaca review ini untuk membeli bukunya mba Emi. Buku “Yang Tersisa Dari Setahun Itu” bukan hanya sebuah catatan perjalanan, tapi juga kepingan-kepingan kisah yang bernyawa dan punya detil pesan yang sangat inspiratif.


Yummy Book, Sister… Menarik dan Edukatif ….I really proud to know you …  (tolong benerin kalo kata-katanya salah, hahaha)


Ditunggu buku-buku selanjutnya, tetaplah menulis ….tetap bebaskan gaya bertuturmu dan buang jauh-jauh kata-kata “saya tak bisa menulis”


You are extraordinary writer I guess …..





---- Rose Princess ----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar